Rabu, 09 Februari 2011 | By: IPNU Kota Makassar

Menembus nalar fundamentalisme kader IPNU Kota Makassar

 “Tak Kenal maka Tak Sayang”

IPNU merupakan organisasi pelajar yang berada dibawah naungan organisasi kemasyarakatan jamiah Nahdlatul Ulama yang telah mengakar cukup kuat pada identitas masyarakat pribumi dan berperan aktif dalam sejarah berdirinya bangsa Indonesia ini. IPNU di dirikan oleh seorang ulama NU yang sangat dekat dengan para generasi Muda NU dan itu juga salah satu alasan didirikannya organisasi Pelajar NU tersebut. KH. Tholha Mansur itulah nama pendiri organisasi pelajar NU, yang bertujuan sebagai benteng dalam mempertahankan Ideologi Ahlu Sunnah Waljamaah (aswaja), dan sebagai wadah penampung generasi muda NU agar tidak terbawa arus globalisasi atau lingkaran Neo-liberalisme yang dapat mencederai NU itu sendiri, sehingga dapat berkreasi dan mengembangkan nalar kritis dalam menghadapi pihak-pihak yang ingin mengekploitasi dan merusak moral generasi Muda penerus bangsa.
Kader IPNU merupakan pelajar yang dapat berpikir kritis, yang peka terhadap revolusi social yang disebabkan oleh scenario-skenario imperium demi kepentingan-kepentingan pribadi yang bersifat sesaat dan tidak berpihak pada kaum ploretar. Kader IPNU berasal dari santri pondok pesantren maupun dari siswa sekolah Umum, yang telah diberi kapasitas intlektual yang bersifat progres yang bertujuan untuk mempertahankian ajaran-ajaran NU baik itu tauhid, akhlak, serta menanamkan ideology bahwa islam sebagai rahmatan lil alamin (rahmat bagi semesta Alam) yang selama ini di pertahankan oleh para kiai terdahulu NU, serta menanamkan “konsep Aswaja ala NU”, sehingga dapat mentransformasikan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam duni kontemporer sekarang ini dimana masyarakat dan remaja banyak mengadopsi ideolagi transnasional baik itu secara social-kultur maupun histori-kultur yang dapat menghilangkan dan merusak nilai tradisi yang dipertahankan selama ini oleh para orang tua dulu khususnya budaya bugis-makassar yang dapat berimplikasi pada tataran masyarakat social sehingga para remaja lebih cenderung melakukan apa yang dilakukan oleh budaya barat misalnya ciuman didepan umum atau tidak mempunyai akhaltul karimah kepada orang tua dan masih banyak lainnya yang dapat merusak identitas pelajar-santri makassar, hal itu disebabkan adanya ideology transnasional yang ditranspormasikan melalui media elektronik yang sengaja di planning oleh pihak asing untuk menghancurkan generasi penerus bangsa ini, sehingga terjadilah krisis identitas pelajar-santri kontemporer ini.
Ada yang menarik pada rekan-rekan IPNU di Makassar yang perlu di kontruksi lebih mendalam lagi yang bersifat progress tentang masalah “krisis fundamentalisme” seorang kader, dimana para kader IPNU lebih bersemangat dan “terangsang” ber-IPNU ketika terjadi sebuah Kaderisasi di suatu tempat, sehingga hakikat tujuan kederisasi tidak lagi tampak sebagai pintu gerbang regenerasi dan bergabungnya pelajar-santri terhadap IPNU, melainkan sebuah ajang pembalasan “dendam” oleh para kader IPNU yang bersifat IPDN-isme , hal tersebut tidak terlepas adanya sikap traomatik yang terjadi dalam diri kader IPNU di makassar sehingga segala kemarahannya dituang pada generasi selanjutnya, dan hal tersebut tidak mempunyai titik akhir, melainkan sebuah “lingkaran setan” yang terjadi terus- menerus tanpa mengenal waktu. Hal tersebut juga tidak terlepas pada doktrin kader IPNU yang tidak bersifat progress dan structural, melainkan hanya sebuah doktrin yang bersifat kultural, sehinnga perlu adanya formulasi baru yang dapat meningkatkan fundamentalisme kader IPNU baik secara kultural, maupun structural sehingga dapat memotong lingkaran tersebut dan mengembangkan kreativitas serta intelektual kader IPNU sehingga tidak terbawa arus ideology trans-nasional dan globalisasi kontemporer ini.

0 komentar:

Posting Komentar