Minggu, 13 Februari 2011 | By: IPNU Kota Makassar

TRADISI MAULID DAN KARAKTER ISLAM NUSANTARA

Oleh Ahmad Baso
Anggota KOMNAS HAM

Salah satu kekuatan tradisi Syi’ah maupun Sunni di Nusantara adalah kemampuannya membentuk Islam berkarakter moderat, toleran dan akomodatif terhadap kebudayaan lokal. Seperti ditunjukkan pada kemunculan kesultanan Islam pertama di Indonesia, Pasai, yang berkultur Syi'ah, hingga kehadiran Walisongo di Jawa. Tidak berlebihan kalau Abdurrahman Wahid dalam satu tulisannya di Warta NU (1995) menyebut penyebaran Islam di Nusantara dimungkinkan karena Islam Sunni di Jawa lebih berkarakter “Syi’ah kultural”. Mengapa demikian?
Karena wajah yang seperti itulah yang menjadikan Islam begitu mudah diterima oleh berbagai etnis yang ada di Nusantara. Hal ini terjadi karena ada kesesuaian antara agama baru (Islam) dengan kepercayaan lama mereka. Setidaknya kehadiran Islam tidak mengusik kepercayaan lama, tetapi sebaliknya kepercayaan tersebut diapresiasi dan kemudian diintegrasikan ke dalam doktrin dan budaya Islam. Karena kemampuan berdialog dan melakukan tawar-menawar dengan kebudayaan setempat itulah yang menyebabkan agama Islam secara umum bisa berkembang dengan pesat tanpa menemukan benturan yang berarti dengan kepercayaan, tradisi dan budaya yang ditemui.
Hal inilah yang dilakukan misalnya oleh Syekh Burhanuddin Ulakan yang memperkenalkan tradisi “tabut” (perayaan Asyura) dan “basapa” (berjalan safar) di pesisir barat Sumatera abad 17. Sementara Syekh Jalaluddin al-Aidid memperkenalkan tradisi “maudu lompoa” (Maulid Nabi yang Agung) di daerah di Cikoang, Takalar, Sulawesi Selatan pada abad 17. Perayaan “tabut”, “basapa” dan “maudu lompoa” semuanya menunjukkan karakter Islam Syi’ah. Tradisi ini diperkenalkan sebagai instrumen penyebaran agama Islam di Nusantara. Syekh Burhanuddin Ulakan dikenal sebagai penyebar Islam pertama di daerah Minangkabau dan Bengkulu, sementara Syekh Jalaluddin al-Aidid salah seorang tokoh penyebar Islam di daerah Sulawesi Selatan.
Meski disanggah oleh Hamka dan sejumlah penulis lainnya, pengaruh Syi’ah di daerah pesisir Sumatera seperti di Minangkabau dan Bengkulu cukuplah kuat. Seperti ditunjukkan pada perayaan Hoyak Tabuik (Tabut) atau Hoyak Husain, yang dirayakan untuk mengenang syahidnya Imam Husain, salah seorang cucu Nabi Muhammad SAW. Upacara Hoyak Tabuik atau mengarak usungan (tabut) yang dilambangkan sebagai keranda jenazah Imam Husain yang gugur di Padang Karbala. Perayaan ini dimulai pada hari pertama bulan Muharram hingga hari kesepuluh.

Di Pariaman, Sumatera Barat, pada tanggal 1 Muharram, perayaan dimulai dengan mengambil lumpur dari sungai di tengah malam. Para pengambil lumpur harus berpakaian putih. Lumpur dikumpulkan ke dalam periuk yang ditutup kain putih, kemudian dibawa ke sebuah tempat yang disebut Daraga yang besarnya 3 x 3 meter yang juga ditutup kain putih.
Pengambilan lumpur melambangkan pengumpulan bagian-bagian tubuh Imam Husain yang terpotong. Daraga melambangkan makam suci Imam Husain, sedangkan kain putih adalah perlambang kesucian Imam Husain. Pada tangga 15 Muharram mereka menebang batang pisang dengan pedang yang sangat tajam. Batang pisang itu harus tumbang sekali tebas. Penebangan batang pisang ini melambangkan kehebatan putra Imam Husain, Qasim, yang bertempur bersenjatakan pedang di tanah Karbala. Pada tanggal 7 Muharram, persis di tengah hari, panja atau potongan jari-jari Imam Husain yang sudah dibuat sebelumnya dibawa ke jalan-jalan dalam sebuah belanga bersama dengan Daraga.
Biasanya orang menangis penuh kesedihan karena teringat tragedi Karbala yang mengenaskan. Pada hari kesembilan Muharram sorban atau penutup kepala warna putih yang melambangkan serban Imam Husain diarak di jalan-jalan untuk menunjukkan betapa hebatnya Imam Husain dalam membela Islam. Dan pada tanggal 10 Muharram ritual Tabuik mencapai puncaknya. Di pagi hari Tabut yang sudah dipersiapkan sebelumnya, Daraga, Panja dan Serban diarak keliling kota dalam suatu pawai besar yang disaksikan oleh ribuan bahkan puluhan ribu penonton yang datang dari berbagai penjuru. Orang-orang pun berkabung dan berteriak Hoyak Tabuik, Hoyak Husain. Sore hari menjelang matahari terbenam saat arak-arakan selesai, semua benda-benda di atas diarak ke laut kemudian dibuang di tengah laut, lalu mereka pulang sambil melantunkan seruan “Ali Bidaya... Ali Bidaya, Ya Ali, Ya Ali, dan Ya Husain”.
Sementara di Bengkulu, perayaan Asyura ini dinamakan “Tabot” dan sering juga dikenal dengan nama “Tabut”. Istilah “Tabot” berasal dari kata Arab (tabut) yang secara harfiah berarti “kotak kayu” atau “peti”. Perayaan ini berlangsung selama sepuluh hari. Pada hari terakhir, pada 10 Muharram, digelar tabot tebuang (tabot terbuang). Seluruh tabot berkumpul di lapangan diarak menuju Padang Jati, dan berakhir di kompleks pemakaman umum Karabela. Tempat ini menjadi lokasi acara ritual tabot tebuang karena di sini dimakamkan Imam Senggolo (sebutan untuk Syekh Burhanuddin Ulakan), perintis upacara tabot di Bengkulu. Kemudian bangunan tabot dibuang ke rawa-rawa yang berdampingan dengan makam, yang menandai berakhirnya segenap rangkaian upacara tabot.

Demikian pula tradisi maudu lompoa di Cikoang. Dalam tradisi ini, adat dan kultur benar-benar memiliki ruh Islam atau bersendi syara’. Dalam kerangka ini, proses keagamaan telah berhasil dijalankan dengan merata di hampir seluruh daerah pesisir dan pedalaman Nusantara.
Tradisi-tradisi keagamaan masyarakat ini menunjukkan pengakuan bahwa dalam relasi antara kebudayaan dan keislaman, lebih mencuat adalah aspek kesatuannya, bukan pertengkarannya sebagaimana yang sering dibuat-buat oleh kalangan Orientalis dan murid-muridnya tentang dikotomi santri-abangan atau Islam versus Adat. Tradisi santri dengan lingkungan adat, kraton dan kesultanan adalah interaksi saling mengisi, yang didasari pada kebutuhan untuk saling mendengar, melihat dan memberi, sehingga menghasilkan sebuah sintesa baru.
Sintesa-sintesa baru itu menghasilkan sebuah dinamika keilmuan-kebudayaan baru bagi tradisi Nusantara: yakni terbukanya dunia kehidupan santri dengan kekayaan tradisi nusantara yang di luar kraton. Pergumulan dengan aneka ruang tradisi itu memunculkan berbagai macam ijtihad, pertemuan-pertemuan baru, sintesa-sintesa, dan solidaritas-solidaritas baru.
Dan, kini, kita di negeri kita sudah saatnya pula menggali kembali warisan keagamaan kita yang berpotensi mendukung integrasi kebangsaan dan kemasyarakatan kita, termasuk yang berpotensi melawan penjajahan di era pasca-kolonial ini. Dan akar kebersamaan kita adalah kebangsaan; yakni, “those being that we should live with humility, love our neighbors, and do unto others as we would have them do unto us” (hidup dengan penuh keserhanaan, mencintai tetangga kita, berbuat baik kepada sesama sebagaimana halnya mereka berbuat baik bagi kita) – mengutip Cornel West dalam bukunya, Democracy Matters: Winning the Fight against Imperialism (2004) dalam konteks penguatan tradisi-tradisi keagamaan komunitas African-American di Amerika Serikat kini.***
(Tulisan ini pernah dimuat pada Bulettin IPNU Cab. Makassar @Dirasah

1 komentar:

Unknown mengatakan...

Assalamu alaiykum WR WB
mau tanya, bagaimana cara saya untuk ikut kaderisasi IPNU di kota Makassar ? klo di Watampone ada tidak ? terima kasih

Posting Komentar