Minggu, 13 Februari 2011 | By: IPNU Kota Makassar

NU: Berkhidmat Untuk Umat dan Bangsa

Amiruddin Aminullah
Aktivis Muda NU

Tanggal 31 Januari 2011, Nahdlatul Ulama yang populer dengan akronim NU genap berusia 85 tahun. Sejak dideklarasikan pada tanggal 31 januari 1926 melalui tokoh sentral Khadratus Sykeh K.H. Hasyim Asy’ari, sejak itu, NU menapaki jalan panjang nan terjal di tengah pergumulan dan dinamika kehidupan umat dan pasang surut perjalanan kebangsaan.
Dalam sejarahnya, NU lahir melalui embrio tiga perkumpulan yang sudah mendahuluinya yaitu: Nahdlatut Tujjar, Nahdlatul Wathan dan Tashwirul Afkar. Nahdlatut Tujjar, organisasi yang bergerak dalam pengembangan ekonomi kerakyatan; Nahdlatul Wathan, perkumpulan yang mengorganisir gerakan cinta tanah air dan kebangsaan; dan Tashwirul Afkar, merefresentasi gerakan pemikiran dan kebudayaan. Tiga pilar ini sering dijadikan rujukan filosofi dalam menyemangati gerakan dan eksistensi NU.
Pemahaman latar kelahiran NU seperti digambarkan di atas, rasanya belumlah cukup, tanpa melihat sepak terjang para ulama. Sebab, jauh sebelum NU lahir dalam bentuk Jam’iyyah (organisasi), ia terlebih dahulu ada dalam wujud jama’ah (community) yang terikat kuat oleh aktivitas sosial keagamaan yang mempunyai karakteristik tersendiri, dengan ulama sebagai patron utamanya.
Lahirnya jam’iyyah NU tidak ubahnya seperti mewadahi suatu barang yang sudah ada. Dengan kata lain, wujud NU sebagai organisasi keagamaan, hanyalah penegasan formal dari mekanisme informal para ulama sepaham, pemegang teguh salah satu dari empat mazhab: Syafi’I, Maliki, Hanafi, dan Hambali.
Asumsi seperti ini dibenarkan oleh peristiwa sejarah berkumpulnya para ulama terkemuka, pada tanggal 31 Januari 1926 di Kampung Kertopaten Surabaya. Pertemuan ulama ini, selain bermaksud membahas dan menunjuk delegasi komite Hijaz – utusan yang hendak dikirim menyampaikan pesan kepada Raja Abdul Azis Ibnu Sa’ud – penguasa baru Hijaz, juga secara spontan menjawab pertanyaan yang timbul kemudian, yakni siapa sebetulnya yang berhak mengirim delegasi itu? Atau dalam istilah lain, organisasi apa dan apa pula namanya yang akan bertindak selaku pemberi mandat kepada delegasi Hijaz tersebut. Jawaban yang segera muncul ketika itu adalah kesepakatan meembentuk suatu jam’iyyah, wadah baru bagi persatuan dan perjuangan para ulama – yang selanjutnya di beri nama: Nahadltul Ulama (kebangkitan ulama).
Dalam bentuknya semula, NU atau ‘kebangkitan ulama’ tidak dapat disamakan dengan NU yang lahir di tahun 1926. Kebangkitan ulama pada masa dahulu masih bersifat pribadi atau perorangan dan belum ada ikatan organisatoris antara satu dengan lainnya. Pada umumnya, mereka bangkit karena ada rasa tanggung jawab dalam mengamalkan ilmu yang telah mereka peroleh melalui proses yang amat panjang.
Proses kebangkitan ulama juga berbarengan dengan adanya pengakuan suatu lingkungan masyarakat, terutama masyarakat pedesaan terhadap kelebihan ilmu agama, kesalihan prilaku maupun ketegasan serta keberanian seorang ulama dalam menghadapi segala macam gangguan yang mengancam diri pribadi maupun lingkungannya.
Pengakuan masyarakat terhadap ulama atau secara person biasa disebut kiyai, tidak saja sebagai seorang yang tinggi ilmu agamanya, tetapi lebih dari itu dianggap sebagai tempat bertanya dan meminta fatwa, maka secara tidak resmi ulama (kiyai) telah tampil sebagai pemimpin yang kharismatik, sosok pemimpin yang dipanuti dan dipercaya, karena para ulama dalam menyampaikan pesan kebaikan dilandasi dengan sikapa tegas, jujur , ikhlas – jauh dari kepentingan pribadi maupun golongan, dan yang termat penting, bahwa semangat pengabdian ulama bukan untuk menggapai kekuasaan.
Uraian di atas memberi ketegasan bahwa, pemebentukan jam’iyyah NU tidak lain hanyalah merupakan penyatuan potensi dan peran ulama yang sudah ada. Sebuah potensi yang telah mendapat pengakuan dan tempat di masyarakat melalui proses yang tidak gampang – potensi inilah yang sesungguhnya “bersepakat” mengorganisasi diri dalam satu wadah yaitu ‘Nahdlatul Ulama’.

Khidmat Umat & bangsa

Semangat awal Kelahiran NU, sebagaimana gamabaran singkat di atas, semata-mata ingin mengabdikan diri bagi kemaslahatan umat maupun bangsa. Sikap ini tidak lepas dari spirit pengabdian yang sudah melekat pada sosok ulama yang menjadi figur sentral organisasi NU. Sebuah bentuk pengabdian yang tulus – tanpa pamrih. Meskipun diakui, bahwa NU pernah ‘bersinggungan’ dengan Politik praktis, namun, NU tersadar kembali bahwa orientasi politik praktis bukanlah persemaian yang tepat bagi NU. Corak politik NU adalah kebangsaan dan rahmatan lil-alamin, tidak berambisi berkontestasi dengan kekuasaan. Itulah pesan politik NU “kembali ke Khittah 1926”. Maka, NU selalu memosisikan diri sebagai pembela kaum lemah, melampaui demarkasi agama, budaya maupun etnis.
Di tengah carut marutnya perjalanan bangsa dewasa ini, spirit perjuangan NU kembali digugah. Bangsa Indonesia dihadapkan pada persoalan krusial, seperti masih tingginya angka kemiskinan, praktik korupsi, mafia hukum, dan konflik antara keyakinan. Persoalan ini telah “melapukkan” proses keadaban bangsa kita, terutama bagaimana seluruh elemen bangsa membangun kesadaran yang berlandaskan moralitas, bukan kepentingan individu maupun golongan.
Sebagai salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia, NU turut bertanggung jawab untuk memberikan kontribusinya dalam menjaga moral dan keadaban bangsa. Hal ini tidak lain karena kontribusi NU tidak hanya dialamatkan kepada jamaah NU, tetapi lebih besar dari itu bagaimana NU bisa berkontribusi kepada bangsa. Kaitannya dengan hal ini, NU telah merumuskan prinsip bagi terciptanya tatanan kehidupan yang damai bagi semua elemen masyarakat. Prinsip tersebut adalah:
Pertama, NU telah merumuskan konsep mabadi kohiro ummat (prinsip dasar umat terbaik) yang didasarkan pada orientasi moral untuk perubahan sosial- ekonomi masyarakat. Pengukuhan moralitas sebagai landasan dalam kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat bertumpu pada as-shidqu (kejujuran) dan al-amanah (tanggung jawab) sehingga tata laku masyarakat dilandasi oleh moralitas yang agung, bukan nafsu serakah menumpuk kekayaaan dan kepentingan ego pribadi.
Kedua, NU sejak semula memberikan kontribusinya dalam wawasan keagamaan moderat dan ikut mendorong pembentukan ide kebangsaan. Dalam ranah keagamaan, NU telah merumuskan gagasan dasar tentang tawassuth (moderat) tasamuh (toleran), tawazun (keseimbangan), dan i’tidal (keadilan). Inilah menjadi sikap dasar NU dalam merespon isu-isu sosial dan keagamaan di tanah air. Dengan gagasan ini, NU ingin melahirkan generasi bangsa yang mengedepankan hidup dalam suasana damai dan toleran, bukan intimidasi dan kekerasan.
Ketiga, dalam kaitan ini, fondasi besar telah diletakkan oleh NU ketika memelopori penerimaan Pancasila sebagai asas bernegara dan bermasyarakat yang mesti diterima oleh umat Islam. Konsepsi ini diperkuat dengan kesetiaan NU terhadap ide-ide kebangsaan yang menjadi titik tolak dalam mendesain Negara Indonesia. Konsepsi ini didasari oleh semangat kemaslahatan bagi NU yang melihat realitas bangsa yang palural dan heterogon dari berbagai dimensi. Karena itu, untuk membangun dan mewujudkan harmoni bersama, NU telah meletakkan tiga pilar dasar persaudaraan yaitu: ukhuwwah islamiyyah (persaudaraan sesama muslim), ukhuwwah wathoniyyah (persaudaraan antarbangsa), dan ukhuwwah insaniyyah (persaudaraan sesama manusia). Tak berlebihan jika NU terus-menerus melestarikan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sikap ini sejak lahirnya NU telah dikumandangkan oleh para pendirinya, seperti K.H. Hasyim Asy’ary dan K.H. Wahab Hasbullah. Meskipun ide globalisme Islam terus dikumandangkan oleh kelompok tertentu hingga sekarang ini, NU tetap kokoh dengan ide kebangsaannya.
Ketiga konsep dasar NU ini diharapkan menjadi pijakan dan peneyemangat bagi NU dan warga bangsa lainnya dalam menciptakan tatanan hidup bersama. Tentu saja, pencarian keluhuran nilai dan budi pekerti yang mulia dalam mewujudkan kehidupan yang ideal terus menerus menjadi cita-cita NU, terutama dalam menyongsong perubahan-perubahan, baik dalam skala nasional maupun internasional. Dengan demikian, NU sejatinya tetap memosisikan diri sebagai kekuatan moral umat dan bangsa dalam rangka meraih mimpi Indonesia. Indonesia yang terbebas dari prilaku korup, kemiskinan, pendiskriminasian & segala bentuk penyimpangan kemanusiaan lainnya – Indonesia yang mandiri, sejatera, dan bermartabat.
Dalam konteks inilah, memontum kelahiran NU kali ini menjadi titik refleksi bagi kesejarahan dan perjuangan NU, yang telah membangun prinsip dasar umat terbaik yang bertumpu pada moralitas dan tanggung jawab publik yang didasari oleh semanagat kebersamaan dan solidaritas sosial.


DIRGAHAYU NU KE-85
TETAPLAH BERKHIDMAT UNTUK UMAT DAN BANGSA

(Tulisan ini pernah dimuat pada Bulettin IPNU Cab. Makassar @Dirasah Edisi I Januari 2011)

0 komentar:

Posting Komentar